Minggu, September 20, 2009

Perkembangan Zine Pada Komunitas Hardcore/Punk Di Bandung

Introduksi

Sebagai salah satu bentuk media massa, majalah mempunyai fungsi pokok yakni sebagai sumber informasi dan sebagai fungsi komunikasi. Menurut Dominick, klasifikasi majalah dibagi ke dalam lima kategori utama, yakni : General consumer magazine (majalah konsumen umum), Business publication (majalah bisnis), Literacy reviews and academic journal (kritik sastra dan majalah ilmiah), Newsletter (majalah khusus terbitan berkala), dan Public relations magazines (majalah humas).

Dalam makalah ini yang menjadi pokok utama bahasan adalah zine yang menjadi media komunikasi khususnya di kalangan komunitas HC/Punk di Bandung. Tema mengenai zine ini diangkat karena dianggap sebagai fenomena yang cukup menarik yang berada diluar media komunikasi massa mainstream lainnya. Jika dimasukkan ke dalam klasifikasi Dominick, bisa termasuk ke dalam kelompok newsletter atau majalah khusus terbitan berkala walaupun ada sedikit yang berbeda. Dijadikannya zine ini sebagai tema utama dalam makalah ini karena merupakan sebuah fenomena yang menarik, dimana dalam penerbitannya ternyata membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap kondisi interaksi dan pemikiran di kalangan komunitas tempat zine itu muncul.

Dilihat dari kemunculannya yang berasal dari orang-orang di kalangan scene HC/Punk, perlu juga ditelaah lebih lanjut. Dimana kemunculannya itu berasal di sebuah komunitas yang sering disebut sebagai komunitas underground. Sehingga perlulah diterangkan sedikit mengenai komunitas HC/Punk ini, agar dapat dipahami mengenai munculnya zine sebagai media komunikasi.

Digunakannya zine sebagai media komunikasi dalam scene HC/Punk menjadi sesuatu yang menarik karena sebagai komunitas minor yang berada dan hidup di jalanan di kota-kota besar ternyata mampu mengorganisir dan dengan keterbatasannya itu bisa melakukan penyebaran informasi dengan efektif.

Zine Sebagai Media Komunikasi dan Ekspresi

Informasi yang dikomunikasikan dalam media zine di kalangan scene HC/Punk sekarang ini isinya sangat beragam seiiring dengan perkembangan jaman. Zine dibuat oleh setiap orang di kalangan scene HC/Punk itu sendiri, jadi setiap orang mempunyai kebebasan untuk membuatnya. Oleh karena itu isi zine sendiri tidak ada patokan atau batasan, karena setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengisi zinenya itu dengan segala hal yang diinginkan. Apapun yang dimuat dalam zine itu tergantung dengan sang pembuatnya.

Dari zine-zine yang dibuat oleh scene HC/Punk hampir semuanya isinya sungguh bebas. Tidak adanya sensor atas segala isi yang ingin ditampilkan. Dari mulai gambar-gambar, tulisan, sampai lay out, semuanya tidak ada batasan. Sehingga merupakan sesuatu yang sangat lumrah jika ditemukan kata-kata yang sungguh kasar dan sarkasme dalam tulisan-tulisan di zine-zine itu atau gambar-gambar yang oleh orang timur dianggap tidak senonoh.

Selain sebagai media komunikasi, seringkali zine dijadikan media ekspresi sehingga maksud, tujuan dan perasaan yang ingin diungkapkan oleh pembuatnya dalam zine adalah tanpa batas. Mungkin sesuatu yang membatasi ekspresi itu hanyalah kesadaran si pembuatnya. Untuk menilai apakah zine ini baik atau tidaknya itu semua dikembalikan kepada pihak yang membacanya. Karena esensi dari zine yang tumbuh di kalangan scene HC/Punk ialah kebebasan sebab tidak adanya otoritas yang boleh mencampuri ekspresi manusia.

Ketika keadaan sekitar memungkinkan manusia untuk mengekpresikan perasaannya maka ia akan segera mencari media untuk mengekspresikannya. Begitupun dengan zine, di mana seorang Punk ingin mengekspresikan perasaan ataupun ingin menyampaikan pemikirannya melalui tulisan mengenai suatu hal maka zine bisa dijadikan media itu selain tentu saja musik. Sehingga di saat Punk dengan berbagai ide, pemikiran, dan ideologinya merasa usaha untuk mencapai tujuan yang ingin ia raih ialah melalui zine ini, maka dengan kebebasan yang dimiliki, ia akan membuatnya. Oleh karena itu, isi dari zine-zine yang ada di kalangan HC/Punk selain isinya mengenai segala hal yang berbau musik HC/Punk, mereka pun memuat tulisan-tulisan yang merupakan tanggapan atas keadaan sekitar. Banyak propaganda-propaganda sesuai dengan ideologi si pembuatnya yang dimuat dalam zine termasuk propaganda politik, dalam hal ini kebanyakan berkaitan dengan anarkis dan anti kapitalis. Walaupun ada sedikit kesamaan munculnya zine di berbagai daerah memunculkan kekhasannya tersendiri sesuai dengan situasi kelokalannya masing-masing.

Jika saja adanya peraturan atau perundang-undangan yang melarang dibuatnya tulisan-tulisan yang dianggap melawan pemerintah, itu tidak pernah menjadi kendala berarti dalam pembuatan dan penyebaran zine. Hal ini karena selain pembuatan dan penyebarannya yang terbatas ataupun dijual di tempat-tempat tertentu, biasanya sang pembuat tulisan akan menggunakan nama samaran atau inisial agar identitasnya tidak diketahui umum. Mungkin jika kita melihat peraturan di negara-negara barat yang menjamin kebebasan berekspresi, maka tidak aneh jika isu-isu politik yang kontra pemerintah bisa disebarkan secara luas. Coba bandingkan dengan di Indonesia yang peraturannya serba tidak jelas.

Contohnya ialah zine Profane Existence yang dibuat oleh sebuah kolektif yang namanya sama dengan nama zinenya. Profane Existence zine isinya kebanyakan adalah tulisan-tulisan mengenai tanggapan atas keadaan sosial politik di AS. Dimana informasi yang dimuat dalam zine itu salah satunya berisi data-data kebobrokan AS dalam perang di Timur Tengah, selain opini-opini dari perorangan yang menulis berbagai hal. Ada juga propaganda-propaganda untuk melakukan pemboikotan atau ajakan berdemo menentang kesewenang-wenangan pemerintah. Sebagian besar isu-isu yang diangkat dalam zine ini adalah isu sosial politik yang sedikit banyak berkaitan dengan scene HC/Punk. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa orang-orang dari kalangan scene HC/Punk bukanlah sekelompok pengacau atau pembuat onar, tetapi mereka juga mampu untuk berpikir ilmiah dan berperilaku intelek walaupun dengan bahasa mereka sendiri. Selain mengangkat isu sosial politik, zine yang dikeluarkan di scene Hardcore/Punk ada juga yang mengangkat isu animal liberation, vegetarian, feminisme, straight edge, pencemaran lingkungan, globalisasi dll.

Pada umumnya zine yang dibuat perorangan ataupun kolektif sering berformat fotokopian, sering juga disebut sebagai xeroxzine. Hal ini dimaksudkan agar biaya yang digunakan tidaklah besar karena tinggal memfotokopi. Paling penting dari penerbitan zine ini ialah bahwa mereka yang berasal dari scene Punk tidaklah pernah menganggap adanya aturan atau regulasi atas hak cipta, sehingga mereka sendiri –bisa dikatakan- tidak pernah memberi zine mereka label hak cipta (copyright). Bahkan untuk sebagian zine, si pembuat menulis ajakan untuk memperbanyak zinenya agar informasi yang ada di zine itu bisa disebarkan seluas-luasnya. Sehingga dalam penyebarannya tidak bisa diawasi secara jelas karena setiap orang yang memegang zine bebas untuk memperbanyak dan kemudian menyebarkannya. Ini adalah salah satu kunci keefektifan zine dengan tanpa copyright, yang mampu mengkomunikasikan informasi kepada semua pihak yang merasa tertarik.

Zine di Komunitas Hardcore/Punk Bandung

Musik Hardcore/Punk sendiri diperkirakan telah ada di Bandung sejak pertengahan tahun 1970-an. Sekitar pada tahun 1980-an musik Punk dapat dipastikan telah ada di Indonesia karena orang-orang yang pernah berkecimpung dalam scene Punk pun masih bisa dimintai keterangannya. Musik Punk mulai berkembang seiring dengan trend musik new wave ataupun tari kejang (breakdance) yang sempat mewabah pada tahun 1980-an.

Pada pertengahan tahun 1990-an bisa dikatakan baik musik Punk, Hardcore, maupun musik underground lainnya mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hal ini dibuktikan dengan telah adanya beberapa band yang mengeluarkan album secara independen, dan juga mulai marak diadakannya acara-acara musik underground. Pada saat itu Punk di Bandung bisa katakan masih sekedar trend musik, belum dimengerti secara menyeluruh.

Komunitas Punk mulai jelas terlihat sekitar tahun-tahun 1994-1995an. Panggung-panggung untuk musik ini pun semakin banyak dari mulai acara tujuhbelas agustusan sampai acara yang diorganisir secara profesional. GOR Saparua adalah satu saksi bisu berkembangnya Punk di Bandung. Pada tahun-tahun di akhir 90-an, terutama di hari minggu sering diadakan acara musik underground. Tidak jarang dalam sebuah acara disertai dengan kericuhan seperti perkelahian yang sering berujung pemberhentian acara oleh pihak berwenang karena situasi dianggap sudah tidak kondusif. Diantaranya adalah muncul acara seperti Gorong-gorong 1&2, juga Punk Rock Party 1&2. Acara-acara itu juga melahirkan band-band Punk Rock semisal Keparat, Runtah, Jeruji, Turtles Jr, dll. Pada waktu itu komunitas Punk belum diakui oleh masyarakat seperti sekarang karena hanya dianggap sebagai sekelompok anak muda bergaya berandalan yang kerjaannya hanya mabuk-mabukan.

Saat itu Suharto masih berkuasa, dan militer masih sangat ditakuti, tidak ada yang berani mengritik kebijakan pemerintah apalagi menghina aparat. Tetapi hegemoni orde baru mungkin tidak berlaku bagi komunitas Punk/Hardcore. Seakan-akan tidak ada hukum yang berlaku, setiap penampilan panggungnya band Punk berani menghina-hina keotoriteran pemerintah ataupun mencaci aparat karena sewenang-wenang. Subversif mungkin pantas dikatakan untuk kelakuan seperti itu pada saat orde baru, tetapi toh tidak ada tanggapan serius dari pihak berwenang karena mungkin Punk pada saat itu masih dianggap sampah.

Salah satu komunitas Punk di Bandung ialah sekelompok anak Punk yang sering nongkrong di belakang pusat perbelajaan Bandung Indah Plaza (BIP) yang pada saat itu tengah ramai-ramainya karena belum ada mall saingan. Dari komunitas Punk yang sering disebut Barudak PI itu lahirlah sebuah record label yang diberi nama Riotic Record pada tahun 1997. Berawal dari keinginan Chaerul, Dadan “Ketu”, Pam, Azis, Awing.dkk untuk mendirikan sebuah record label yang bisa menjembatani keinginan band-band HC/Punk untuk membuat rekaman, jadilah record label itu didirikan beserta dengan distro(distribution outlet)nya.

Pada awal pendiriannya, Riotic record dan distro sering berpindah-pindah. Seperti pernah memilih di daerah Riung Bandung, Cicadas, Melong Green dan belakang BIP sendiri. Pada saat itu Riotic distro menjual berbagai pernak-pernik band, semisal t-shirt, kaset, dan stiker. Dari usaha untuk menjual pernak-pernik band itu, dibuatlah katalog barang-barang yang dijual di Riotic sebagai cara untuk menginformasikan kepada komunitas Punk lainnya. Dari munculnya katalog itulah cikal bakal dibuatnya zine dan newsletter Punk di Kota Bandung, mungkin juga bisa dikatakan di Indonesia.

Pada awalnya isi dari katalog itu hanya berisi daftar barang-barang yang dijual di Riotic dan hanya sedikit tulisan tentang Punk pada kertas katalog, itu pun agar ruang kosong di katalog tidak percuma. Setelah mempunyai jaringan di antara komunitas baik di beberapa kota besar di Indonesia maupun di luar negeri, mereka sering bertukar informasi maupun berupa barang dan salah satunya adalah dikirimnya sebuah zine -yang oleh anak-anak Riotic sendiri baik isi maupun lay outnya disebut jelek- oleh komunitas Punk dari Singapura. Setelah membaca dan mengamati tampilan zine dari Singapura itu, beberapa orang di Riotic sepakat untuk membuat zine. Dan lahirlah zine/newsletter pertama di kalangan Hardcore/Punk di Indonesia itu, namanya Submissive Riot.

Tahun 1998, di Indonesia apalagi di Bandung pembuatan zine belumlah membudaya seperti sekarang. Hanya ada satu-dua zine yang dibuat oleh komunitas underground Ujung Berung seperti Revogram dan Mindblast, akan tetapi karena peredarannya sangat terbatas sehingga tidak terlalu bisa dikatakan sebagai topangan yang jelas atas munculnya budaya pembuatan zine di Bandung. Paling-paling newsletter hanya bisa ditemukan di mesjid ketika jumatan ataupun di kampus-kampus, dan tidak pernah ada info mengenai anarkisme, pemboikotan korporasi, etos DIY, dan Punk Rock di newsletter mesjid.

Submissive Riot dibuat oleh tiga orang, yakni Pam, Linggo, dan Behom. Awalnya mereka membuat Submissive Riot karena merasa tertantang untuk membuat newsletter/zine yang lebih bagus dari zine yang dikirim oleh teman-temannya di Singapura. Isinya berisi hal-hal yang pada saat itu bisa dikatakan tidak umum, lebih tepatnya seluruh isinya adalah propaganda. Anarkisme bisa dikatakan sebagai ideologi yang sangat mempengaruhi tulisan-tulisan mereka, tidak adanya otoritas yang mendominasi adalah pokok utama tulisan yang mereka buat. Juga upaya pemboikotan perusahaan siap saji McDonnald yang dianggap sebagai perusahaan kapitalis cabang dari negara komprador AS pada saat itu.

Submissive Riot terbit setiap bulan, dalam setiap penerbitannya tiga sekawan itu paling-paling hanya membuat sekitar 30-40 eksemplar dengan format fotokopian. Setiap eksemplar biasanya hanya berisi 4-8 halaman ukuran A5. Zine atau newsletter itu dijual seharga Rp. 500,- sebagai ganti biaya produksi. Peredaran zine ini dijual hand-to-hand kepada teman-teman mereka sendiri, dan karena pada saat itu merupakan sebuah fenomena yang baru pada kultur Punk di Bandung sehingga setiap kali penerbitan selalu habis. Untuk setiap Submissive Riot yang dibeli selalu dianjurkan untuk memfotokopinya lagi untuk disebarkan, jadi jika setiap edisinya yang diketahui hanya ada sekitar 30-40 eksemplar tetapi untuk keseluruhan Submissive Riot yang tersebar tidaklah dapat diketahui jelas. Oleh karena itu penyebaran zine ini cakupannya sungguh luas, selain karena setiap orang mempunyai kebebasan untuk memperbanyaknya, distribusi zine ini juga disebarkan diantara komunitas-komunitas Punk di kota-kota besar di Indonesia. Submissive Riot dapat tersebar di beberapa kota selain Bandung seperti Jakarta, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Lampung, Medan, Pontianak, bahkan sampai ke Menado dan Ujung Pandang.

Munculnya Submissive Riot ternyata mendapat respon yang beragam. Pembuatan zine dan newsletter menjadi mewabah di kalangan scene HC/Punk baik di Bandung maupun kota-kota lainnya. Karena biasanya komunitas Punk lainnya yang mendapat newsletter ini, kemudian merasa tertarik untuk membuatnya sehingga ibarat jamur di musim hujan, pembuatan zine semakin banyak dan meluas. Tentu ini dampak yang positif, setidaknya budaya tulis dan baca meningkat walaupun hanya untuk segelintir pihak dalam komunitas.

Sedangkan tanggapan dari pihak aparat berwenang tidak ada sama sekali. Hal ini juga cukup menarik karena pihak pemerintah serta aparaturnya sering menjadi objek tulisan-tulisan mereka ini, apalagi ditulis dengan bahasa yang sarkasme, ternyata tidak memberi respon apa-apa. Bahkan jika digolongkan ke dalam ‘selebaran gelap’ subversif yang menghasut pun, newsletter ini tidak masuk kategori BAKIN. Penyebabnya ternyata tulisan-tulisan dalam Submissive Riot tidak dianggap secara serius atau bahkan dianggap bualan sesaat baik oleh pihak pemerintah ataupun masyarakat awam lainnya. Punk yang pada waktu hanya dianggap sebagai sekelompok anak muda yang berpakaian kotor seperti gembel menjadikan dikotomi itu melekat dalam benak masyarakat. Sehingga disaat mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataannya melalui tulisan, hal itu tidak ditanggapi sama sekali.

Submissive Riot hanya bertahan sekitar satu tahun, atau sekitar 12-13 edisi. Alasan berhentinya pembuatan zine ini kurang jelas tetapi bisa jadi karena tiga orang pembuatnya yang mulai memasuki kegiatan politik praktis. Sekitar tahun 1999, mereka bertiga telah dikenal sebagai “corong” PRD, bahkan bisa menempati posisi-posisi strategis dalam aliansi gerakan kota.

Selanjutnya akan dibeberkan mengenai salah satu zine yang cukup legendaris di kalangan scene Hardcore/Punk baik di Bandung maupun di kota lainnya. Zine yang baik format maupun tulisan-tulisannya banyak diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Inilah zine yang ternyata membawa sang editornya ke pintu karir yang menjanjikan, ya inilah Tigabelas Zine.

Tigabelas zine mulai dibuat pada tahun 1998 oleh Arian yang pada waktu itu dikenal sebagai vokalis band yang menjadi ikon HC Indonesia, Puppen. Arian sebagai editor dalam pengerjaannya dibantu oleh Ucok Homicide sebagai kontributor tetap. Setelah kemunculan Submissive Riot di tahun yang sama, Arian membuat zine sebagai proyek sampingannya selain sibuk di bandnya. Edisi pertama Tigabelas zine terbit pada bulan Agustus 1998.

Format Tigabelas zine adalah fotokopian ukuran A5 dan dihadirkan dengan lay out yang eye catching setiap halamannya yang rata-rata berjumlah sekitar 60 halaman setiap edisinya. Terbitnya zine ini sangat tidak teratur, tergantung nasib sang editor, dan karena ini bukanlah sebuah penerbitan majalah yang terorganisir dengan baik jadi tidak ada deadline dalam pengumpulan materinya. Bahkan rentang waktu antara Tigabelas edisi ke edisi berikutnya selalu terlambat dari jadwal yang ditentukan sebelumnya. Tetapi karena zine ini merupakan sebuah fenomena yang sungguh menarik dalam dunia penerbitan media sehingga selalu di tunggu-tunggu oleh pembacanya baik dari kalangan scene Hardcore/Punk maupun luar.

Kolom-kolom yang ada dalam zine ini antara lain adalah :

Kolom 13. Dalam kolom ini terdapat opini tamu yang berasal dari teman-teman editor sendiri di scene HC/Punk di Bandung. Selain berisi opini mengenai perkembangan HC/Punk, sering juga berisi tulisan berbau politik, puisi, unek-unek, bahkan dumelan dari sang kontributor.

Scene Report. Dalam bagian ini berisi laporan-laporan dari perkembangan scene HC/Punk di luar kota Bandung, seperti dari Malang, Bekasi, Yogyakarta bahkan dari kota-kota di negara-negara Asia Tenggara. Laporan ini di dapat oleh sang editor dengan mengadakan kontak langsung dengan scenester di kota-kota itu, bisa sang editor datang langsung ke kota-kota itu ataupun scenester dari luar kota yang memberi laporan sendiri agar kegiatannya diliput, ataupun melalui email jika sang sumber berasal dari luar negeri.

Interview. Dalam bagian ini memuat hasil interview/wawancara dengan band, editor zine atau orang-orang yang berkecimpung dalam scene HC/Punk lainnya. Interview dilakukan oleh sang editor dengan bertemu langsung si sumber, ataupun melalui email jika tempat si sumber berada di daerah yang cukup jauh, semisal interview dengan band dari New York, maka interview dilakukan via email. Selain itu, editor bisa juga memuat hasil interview dari majalah lain seperti hasil interview band The Business oleh majalah punk Maximum Rock’N’Roll, hasil interview itu dimuat dalam Tigabelas zine dengan mencantumkan pula sumbernya.

Artikel. Tema yang diangkat dalam tulisan di artikel pada zine bermacam-macam, seperti cerita mengenai tokoh antara lain Mahatma Gandhi dan Wiji Thukul, ataupun tema mengenai animal liberation, dan juga memuat tentang undang-undang yang menjamin kebebasan berpendapat yang bahannya di dapat LBH setempat.

Resensi Rekaman. Isinya adalah resensi rekaman yang dilakukan oleh Arian dan Ucok. Resensi adalah hal sangat subjektif, karena itu dalam resensi rekaman ini Arian dan Ucok mengeluarkan pendapatnya atas rekaman-rekaman yang mereka anggap menarik untuk di resensi. Tidak semua yang diresensi isinya bagus atau memuji karena terkadang sang peresensi melakukan sindiran dan kritik atas rekaman yang ia dapat.

Resensi Majalah dan Buku. Disini Arian dan Ucok melakukan resensi pada majalah atau buku yang mereka baca. Majalah yang diresensi biasanya adalah majalah atau zine yang berbau HC/Punk baik dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan buku yang diresensi tidak hanya buku-buku yang ber’atmosfer’ HC/Punk tetapi juga ada buku ‘serius’ yang mereka resensi semisal buku-buku politik. Salah satunya ialah buku berjudul Pemikiran Karl Marx, yang masuk resensi dalam Tigabelas zine edisi ketiga. Selain berisi tulisan-tulisan yang semuanya mempunyai relevansi tehadap pergerakan scene HC/Punk, zine ini juga banyak menampilkan iklan-iklan yang masih berbau HC/Punk semisal desain iklan dari riotic record, reverse, ataupun kampanye-kampanye animal liberation.

Setiap edisinya Tigabelas zine dijual sekitar Rp.3000 – Rp.5000 tergantung ketebalannya, untuk mengganti ongkos produksi. Usaha penyebarannya secara hand-to-hand merupakan cara penjualan yang efektif, selain karena dijual di lingkungan sendiri, zine pada waktu itu juga masih merupakan (sekali lagi) fenomena baru di kalangan komunitas scene HC/Punk. Dari setiap edisinya pun zine ini selalu sold out.

Melalui media zine yang dibuat ini Arian dan Ucok secara tidak langsung memacu orang-orang untuk membuat zine dan mulai berpikir bahwa dibalik HC/Punk ada misi dan movement. Selain itu, melalui Tigabelas zine ini anak-anak muda dipacu untuk tidak hanya menyukai dan mendengarkan hardcore dan punk saja, tetapi lebih mendalaminya dan ber”attitude” dalam bermusik.

Karena sang editor tidak melabelkan hak cipta pada zine ini bahkan ia sendiri mengusulkan untuk memperbanyaknya sehingga penyebarannya sangat luas. Di komunitas scene HC/Punk sendiri baik tertulis maupun tidak, mereka tidak mengakui adanya hak cipta (copyright). Sehingga bukan sesuatu yang akan berbuntut masalah jika seseorang memperbanyak rekaman atau zine dari lingkungan HC/Punk sepanjang tidak untuk mendapat keuntungan.

Respon terhadap zine ini juga bermacam-macam. Banyak orang di kalangan komunitas musik underground lainnya kemudian mulai membuat zine juga, dan orang-orang di luar komunitas itu pun mulai melirik media zine sebagai media komunikasi alternatif.

Zine yang fenomenal ini hanya sanggup bertahan 4 edisi (terbit tahun 2001), dan merupakan suatu yang luar biasa pada saat itu dengan penjualan dari 4 edisi mencapai lebih dari 1000 eksemplar (menurut sang editor). Alasan berhentinya pembuatan zine ini pun dikarenakan editornya, Arian sibuk dengan kegiatannya yang lain. Sedangkan Ucok yang pada nomor empat sudah tidak lagi menjadi kontributor Tigabelas zine, di tahun 1999-2000 Ucok sempat meluncurkan zinenya sendiri yang diberi nama Membakar Batas.

Arian sendiri kemudian sempat ikut terlibat dengan pembuatan majalah-majalah yang dibuat secara independen, seperti majalah Ripple dan Trolley dimana ia menjadi musik director. Majalah Trolley sendiri akhirnya bangkrut setelah terbit kurang lebih 10 edisi (edisi terakhir terbit sebanyak 5000 eksemplar) karena kehabisan modal. Sedangkan majalah Ripple sampai sekarang mampu bertahan dan semakin berkembang, bahkan dianggap menjadi salah satu majalah avant-garde dalam media independen. Sekarang ini Arian bekerja sebagai seorang editor di majalah Playboy Indonesia, setelah sebelumnya sejak tahun 2002 bekerja di majalah MTV Trax sebagai senior editor.

Zine Hari Ini

Dua zine yang telah dibahas tersebut bisa dikatakan sebagai pencetus munculnya media komunikasi cetak yang dibuat secara independen. Baik Submissive Riot maupun Tigabelas zine merupakan salah satu bentuk media komunikasi alternatif diluar media yang telah ada sebelumnya.

Setelah era Submissive Riot dan Tigabelas Zine, muncul zine-zine baru baik dari kalangan scene HC/Punk maupun dari luar yang merasa tertarik dengan zine sebagai media baru. Dari orang-orang di kalangan scene HC/Punk kemudian muncul Kontaminasi Propaganda, Membakar Batas, Puncak Muak, Shaterred, Lysa Masih Bangun, Akuadalahaku, Emphaty Lies Far Beyond, New Noise, Rebelliousickness, Cukup Adalah Cukup, Lady Anarchy dll. Kesemuanya itu mengusung tema yang bermacam-macam seperti Cukup Adalah Cukup dan Lady Anarchy yang menjadikan isu feminisme sebagai isu utama zinenya, kemudian Emphaty Lies Far Beyond yang berisi semacam hal semisal globalisasi dan neo liberalisme, dsb. Tetapi kesemua zine itu sekarang ini bisa dikatakan sudah mati karena berbagai alasan.

Zine generasi terbaru (bisa dikatakan begitu) yang terbit di scene HC/Punk Bandung sekarang diantaranya Beyond The Barbed Wire, Lapuk, Hardcore Heroes vs Punk Partisans. Para pembuat zine itu tetap berasal dari scene HC/Punk yang masih ingin mempertahankan budaya penulisan zine ditengah gempuran majalah-majalah glossy anak muda yang hanya menjual gaya hidup.

Beyond The Barbed Wire (selanjutnya BtBW) dibuat oleh Tremor yang juga mantan vokalis band Rajasinga. Zine yang telah keluar dalam dua edisi ini dicetak rata-rata 100 eksemplar per edisinya, dengan harga edisi pertama Rp 3500 dan edisi kedua karena dibuat lebih tebal dijual seharga Rp 5000. Dengan adanya jaringan pertemanan yang cukup baik di dalam scene HC/Punk memudahkan pendistribusian zine dari kota ke kota. Dalam hal ini Dani mampu membuka jaringan sehingga BtBW bisa didistribusikan sampai ke berbagai kota di Jawa dan yang paling jauh ialah kota Menado. Caranya dengan mengirimkan master hasil print BtBW ke teman di kota lain, kemudian yang menerima master tersebut akan menggandakannya lagi untuk di sebarluaskan. Sedangkan keuntungan penjualannya seluruhnya untuk kemajuan scene HC/Punk di kota yang menyebarluaskannya, jadi dari penjualan itu Dani sama sekali tidak mendapat keuntungan.

Di zinenya, Tremor sebagai pembuatnya dibantu juga oleh teman-temannya yang lain. Mereka menyumbangkan tulisan-tulisan yang berkesesuai dengan tema yang diusung BtBW. Format BtBW sebenarnya sedikit mengingatkan dengan format Tigabelas zine. Di lay out dengan softwear desain secara rapi dan apik sehingga menghasilkan tampilan yang menarik. Berbeda dengan zine yang lain, BtBW setiap edisinya mempunyai tema. Pada edisi pertama bertemakan tentang punk dan definisinya kemudian yang kedua mengambil tema etika DIY. Pada edisi kedua, Dani memasang iklan, tetapi tidak sembarang iklan yang ia muat. Hanya iklan yang berasal dari kalangan scene HC/Punk yang mendukung DIY saja yang bisa terpasang di BtBW seperti PenitiPink dan Kolektif Dor Dar Gelap yang menawarkan pembuatan pin. Biaya iklan untuk setengah halaman kertas ukuran A5 paling mahal hanya dipatok sekitar Rp 10.000. Uang dari iklan tersebut sebenarnya adalah untuk menutupi biaya kirim BtBW ke kota lain jadi harga yang dipatok pun tidak mahal.

Indonesian Music Scene History

Saya mencoba menyelamatkan sebuah arsip menarik yang penting tentang runutan sejarah perkembangan musik Rock Di Tanah Air. Untuk referensi dan sumber yang saya dapatkan dari hasil Googling ternyata berada dalam arsip mail seseorang. Silakan nikmati, niscaya anda akan seperti saya, yang terkaget-kaget membacanya.

Awal Mula

Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70- an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah
namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album
ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.

Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out di sana oleh Tante Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.

Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN’R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara Ada Apa Dengan Cinta?). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem baginya.

Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola tradisi `sekolah lama’, bangga menjadi band cover version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik rock/metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang
mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.

Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga
mantan vokalis Rotor.

Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band- band rock/metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini. Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground
manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA
Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas
Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).

Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah
label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band
seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius
Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.

Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering
terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.

Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).

Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover
penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan
sebagainya.

29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek
Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah,
Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.

10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut,
Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.

Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop

Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari Sex Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini
kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V,
Parklife hingga Death Goes To The Disco.

Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.

Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’ via label indie Movement Records. Komunitas-
komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.

Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death hingga Out Of Control.

Bandung scene

Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.

Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.

Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.

Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!

Scene Jogjakarta

Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder. Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg. Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction.

Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga
Mesin Jahat.

Scene Surabaya

Scene underground rock di Surabaya bermula dengan semakin tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI – Red) dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut.

Setelah event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP – Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar 7-10 band saja.

Rencana pertama Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.

Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction” (September 96), debut album Dry berjudul “Under The Veil of Religion” (97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery of Celerage” hingga debut album milik Fear Inside
yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.

Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu.

Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997 digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan.

Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-event musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF DARKNESS I dan II.

Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground INFERNO 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR. Moestopo,Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO 178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II hingga BLUEKHUTUQ LIVE.

Band-band underground rock yang kini bernaung di bawah bendera INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock dan metal. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung mengeluarkan edisinya yang terbaru hingga kini.

Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja tetapi lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih banyak datang justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa, menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke- 12.

Divisi indie label dari INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178 Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya label
INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.

Scene Malang

Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang “panas” sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community(T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap
saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).

Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut mereka yang
bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang
diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records

Scene Bali

Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di
Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia
Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang
berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.

Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil diantaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock underground tahunan di sana. Salah satu
alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes
dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat.

Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini.

Indie Indonesia Era 2000-an

Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan.

Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie’ dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah `indie atau underground’ ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah `underground’ semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out’, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh
meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.

Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.

…And history is still in the making here…..

Undreground Kita

Jika dirunut pada sejarah masuknya musik rock ke Indonesia, khususnya kota Bandung, diawali sejak tahun 70-an. Musik rock yang masuk ke Indonesia adalah musik rock yang berasal dari benua Amerika dan Eropa. Pada tahun 50-60an tatanan nilai dan budaya benua Eropa dan Amerika masih sangat konservatif. Nilai-nilai budaya baru yang diciptakan oleh para generasi muda pada saat itu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan dianggap sebagai ide-ide yang subversif. Pada tahun 50-an para seniman di Prancis dan Inggris biasa mengekspresikan karya-karya mereka di subway atau stasiun kereta api bawah tanah. Karena mereka tidak pernah diberi akses oleh pemerintah pada fasilitas atau gedung-gedung kesenian pada saat itu. Karena dinilai karya-karya mereka mengandung muatan-muatan pemberontakan pada pemerintahan dan dianggap menghujat nilai-nilai konservatif gereja pada saat itu. Utamanya pada saat itu di benua Eropa telah mengalami puncak kejayaan dari sebuah revolusi di berbagai bidang kesenian. Sehingga cenderung menolak hal-hal baru karena dianggap bisa merusak tatanan kemapanan yang sudah terbentuk. Sementara kaum mudanya merasakan sebuah kondisi stagnasi dan kebosanan. Setiap malam para seniman-seniman itu berkumpul mengekspresikan berbagai macam karya ‘avant garde’ mereka. Dari mulai pentas musik, teater, seni rupa, puisi, performance art, hingga karya instalasi yang rumit. Mereka saling berekspresi dan saling mengapresiasi satu sama lain. Karya-karya yang dipertunjukan pada saat itu memang hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Karya yang diciptakan pada saat itu menjadi semacam ‘basic’ bagi perkembangan semua karya seni yang ada sekarang. Dari sinilah istilah ‘underground’ untuk pertama kalinya muncul.

‘Underground’ Era Revolusi Industri

Di tahun yang sama juga benua Eropa mengalami revolusi industri. Ketika sektor-sektor industri di Eropa melakukan transformasi teknologi yang drastis. Demi efesiensi dan mempercepat kapasitas produksi pasca berakhirnya perang dunia kedua pabrik-pabrik di Eropa mengganti tenaga kerja manusia dengan mesin. Hal ini berdampak pada banyaknya pengangguran dan menimbulkan masalah sosial. Di Inggris lahirlah kelompok-kelompok buruh yang terkena PHK mengorganisir diri ke dalam kelompok berbagai organisasi ‘working class’. Dengan dandanan khas rambut plontos t-shirt putih dan bersepatu boots dr.Martens, setiap malam mereka menggelar pentas-pentas musik di subway serta melakukan ’squat’ atau reclaiming terhadap gedung-gedung kosong bergabung dengan para imigran dari Jamaika, Maroko, dan Afrika. Lirik yang disampaikan adalah lirik protes terhadap kondisi sosial dan kesetiakawanan. Dari sinilah muncul proses eksplorasi musik hingga terciptalah musik heavy yang dipelopori oleh kelahiran band Black Sabbath. Musik yang kelam dan lirik yang mengekplorasi sisi gelap manusia sebagai penyikapan terhadap kondisi sosial pada saat itu. Kelompok ini terbagi lagi menjadi beberapa ideologi. Ada yang cenderung fasis dan ultra nasionalis dan pastinya jadi rasis. Ada juga yang berideologi kesetaraan dan anarkis. Dari sinilah lahir budaya ‘punk’ dengan segala macam aktifitas seni dan gerakan politisnya.

Puncaknya adalah ketika terjadi peristiwa Paris ‘68 di Prancis. Pada saat itu mahasiswa sebagai bagian dari ‘middle class’ atau kaum intelektual melebur bersama para kaum ‘underground’ dan kaum miskin kota dalam hal ini korban PHK akibat dampak dari revolusi industri melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut perbaikan ekonomi. Selama berminggu-minggu mereka membuat barikade di jalan-jalan kota Paris dan melakukan aksi mogok secara nasional. Hingga akhirnya pemerintah Prancis melakukan reformasi total di segala bidang. Salah satu alumnus peristiwa Paris ‘68 adalah Malcolm Mc Laren yang jadi manajer band punk rock kontroversial sepanjang masa, Sex Pistols.

‘Underground’ Era Flower Generation

Kondisi di Amerika kurang lebih sama. Di Amerika pada tahun 50-an masih menganut sistem politik apartheid dan perbudakan. Masyarakat sosial Amerika pada saat itu terbagi menjadi tiga kelas sosial utama. Kelas borjuis yaitu kaum pengusaha, birokrat dan agamawan yang cenderung rasis dan menjunjung tinggi semangat ‘white supremacy’. Kaum tehnokrat yang terdiri kaum intelektual dan mahasiswa. Kaum buruh yang terdiri dari budak-budak kulit hitam. Pembagian strata sosial ini membawa dampak pada pola berkesenian. Pada saat itu para budak kulit hitam yang kebanyakan berasal dari benua afrika oleh hukum yang berlaku pada saat itu mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Gaji yang tidak sesuai dengan porsi kerja dan tindakan diskriminatif di segala bidang. Semua gerak langkah mereka dibatasi hingga menimbulkan rasa frustasi yang begitu mendalam.

Satu-satunya saluran ekspresi mereka adalah lewat media musik. Mereka biasanya dipisahkan dari lingkungan kulit putih dengan cara kolonisasi. Dibuatkan area perkampungan yang kumuh atau dikenal dengan istilah ‘ghetto’ dan sengaja dibuat miskin secara sistematis hingga menimbulkan kerawanan sosial. Setiap malam sehabis lelah bekerja mereka biasanya berkumpul dan memainkan musik. Musik yang diciptakan adalah musik yang sifatnya sangat personal. Musik yang menjadi ekspresi pribadi dalam mengekspresikan segala kesumpekan dalam diri. Lahirlah kemudian jazz dan blues. Musik yang cenderung instrumental. Karena pada saat itu membuat lirik yang bernada protes sosial apalagi dilakukan oleh kulit hitam merupakan pelanggaran berat. Mereka membentuk komunitas dan menggelar konser-konser sederhana di bar-bar kulit hitam. Saling berekspresi dan mengapresiasi sambil meneriakan protes-protes lewat nada-nada sendu dan bernuansa kelam. Kalaupun memakai lirik maka pengucapannya dilakukan dengan cepat, bergumam dan menggunakan ‘bahasa kode’ yang hanya dimengerti oleh komunitas itu sendiri. Musik yang pada saat itu sangat diharamkan untuk didengar apalagi dimainkan oleh kaum kulit putih.

Dari sinilah muncul sikap DIY [do-it-yourself]. Para musisi kulit hitam ini membuat perusahaan rekaman ‘motown records’ yang khusus memproduksi artis-artis kulit hitam dan mendistribusikannya ke setiap koloni-koloni yang tersebar di seantero benua Amerika. Mereka membuat jaringan komunikasi dan media komunitas kulit hitam. Mulai mengorganisir diri dalam gerakan yang lebih ke arah politis. Salah satunya organisasi ‘black panther’. Lahirlah pionir pejuang-pejuang kemanusiaan yang mengusung isu kesetaraan hak, diantaranya Malcolm X dan Martin Luther King.

Hingga suatu saat Elvis Presley mendobrak budaya konservatif tersebut. Diam-diam dia mendatangi bar-bar kulit hitam yang menampilkan musik blues dan jazz. Dia terinspirasi dari aliran musik tersebut hingga digabungkan dengan musik country. Lahirlah rock & roll. Musik yang pada saat itu mengalami penolakan keras dari kaum konservatif dan kalangan gereja. Rock & roll pada jaman Elvis disebut sebagai ‘musik pemuja setan’. Karena iramanya dianggap mendorong anak muda untuk berjoget seronok dan membangkang pada orangtua.

Ketika Amerika mengalami krisis ekonomi berkepanjangan akibat perang dunia kedua dan terlibat dalam perang Vietnam, beberapa kalangan seniman ‘underground’, kalangan akademisi dan para veteran perang menggelar aksi protes anti perang Vietnam serta menuntut perbaikan kehidupan sosial dan ekonomi. Mereka menggelar panggung-panggung festival musik secara besar-besaran. Contohnya adalah Woodstock pada tahun 1969. Panggung tersebut diisi oleh artis-artis multi-etnis. Meneriakan semangat yang sama, ‘make peace not war’. Dari sinilah cikal bakal dari kaum hippies. Kaum ‘flower generation’ yang sudah bosan dengan segala kebijakan konservatif yang mereka nilai tidak sejalan dengan semangat perubahan jaman. Namun kembali gerakan ini tidak berlangsung lama dikarenakan terjadi proses komodifikasi dan eksploitasi besar-besaran oleh para pelaku industri mainstream. Terutama industri yang bergerak di bidang hiburan dan fashion. Pada akhirnya hanya dua elemen nilai itulah yang ‘dijual’ dan sampai ke khalayak. Band-band heavy metal pada era itu sudah tidak dianggap ‘underground’ lagi. Beberapa pelaku sub-kultur akhirnya menolak cara-cara tersebut dan lebih memilih kembali pada jalur ‘underground’ serta mengembangkan sistem mereka sendiri. Pada era 70-an para pelaku komunitas sub-kultur ini telah mampu menciptakan dan mengembangkan berbagai penyikapan alternative untuk melawan arus mainstream. Lahirnya industri indie label yang mengakomodir semangat independensi dan berbagai macam media independen adalah salah satu contohnya.

‘Underground’ Era Orla

Di Indonesia sendiri pada tahun 60-an ketika Soekarno masih berkuasa, perkembangan musik sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik pada saat itu. Soekarno yang berkuasa mengambil poros Jakarta-Beijing-Moskow sebagai garis politiknya di masa perang dingin. Sehingga hal-hal yang sifatnya berbau Amerika dianggap sebagai sesuatu yang kontra revolusioner dan bentuk imperialisme budaya barat. Sehingga musik rock & roll pada saat itu dianggap ‘menyesatkan’ dan ‘kebarat-baratan’ serta dilarang dikonsumsi oleh anak muda Indonesia. Terlepas dari segala muatannya yang membawa pada semangat perubahan, segala sesuatu yang datang dari ‘barat’ pasti dilarang. Semua bentuk kesenian haruslah mengacu pada realisme sosialis dan tidak mengandung muatan borjuisme. Beberapa band seperti Koes Plus mendapatkan perlakuan represif dari aparat keamanan. Beberapa radio yang memutar musik rock & roll ditutup. Petugas keamanan rajin melakukan razia-razia ke tempat keramaian anak muda. Apabila kedapatan mengenakan setelan ‘barat’ pasti ditahan. Apabila ketahuan menggelar acara musik rock & roll atau istilah Soekarno disebut musik ‘ngak-ngik-ngok’ pasti dibubarkan. Sehingga pada saat itu beberapa musisi lokal menggelar acara-acara musik rock & roll secara sembunyi-sembunyi. Biasanya mereka bergerilya dari satu rumah ke rumah yang lain menghindari razia petugas keamanan. Dari sinilah awal lahirnya istilah ‘underground’ di Indonesia.

‘Underground’ Era Orba

Pasca Soekarno runtuh dimulailah era orde baru. Segala bentuk kesenian yang berasal dari barat mulai masuk dan ikut mempengaruhi perkembangan musik Indonesia. Kebijakan politik yang diambil pada saat itu lebih mengarah kepada politik pencitraan bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis dan penuh dengan nuansa keterbukaan. Di tahun 1970-an, musik cadas tidak pernah menyebut dirinya sebagai komunitas musik indie, mengingat pada saat itu Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, atau Uriah Heep merupakan komoditas yang dianak-emaskan oleh industri major label di benua Amerika dan Eropa. Begitu pun dengan musik cadas di Indonesia semacam Giant Step, God Bless, Superkid, atau SAS yang lebih suka mengidentifikasikan dirinya sebagai musik ‘underground’. Komunitas mereka sangat bangga dengan sebutan itu, mengingat tak semua orang suka akan musik yang kekuatan bunyinya jauh di atas 60 dB atau jauh di atas batas toleransi pendengaran manusia. Ada semacam pola imitasi yang berkembang pada saat itu. Terutama dari jenis musik yang dimainkan dan pola fashion. Sehingga yang terjadi adalah proses imitatif kebudayaan luar yang datang namun tidak mampu menyerap kondisi realitas yang terjadi di kultur lokal. Banyak band Indonesia pada saat itu yang mencoba menjadi Deep Purple, Led Zeppelin atau Black Sabbath. Mereka benar-benar meniru habis-habisan apa yang sedang terjadi di luar sana. Namun yang diadopsi hanya sebatas musikalitas dan fashionnya saja. Sementara isu-isu sosial yang terjadi pada tingkat lokal sama sekali tidak tersentuh. Mereka lebih memilih memproduksi karya dengan lirik yang dinilai ‘aman’ dan sebisa mungkin menghindari konflik dengan pemerintah yang totaliter. Fenomena yang dihasilkan pada era ini hanyalah fenomena ‘aksi protes’ yang diekspresikan dalam aksi panggung yang kontroversial, pemakaian obat bius dan seks bebas.

Walaupun ada beberapa band yang dianggap fenomenal pada masa itu namun hanya sebatas di paparan karya musikalitas dan tidak membawa perubahan secara radikal di tingkat masyarakat. Sementara stigma seniman di mata para akademisi terutama musisi rock adalah urakan, tidak mempunyai intelektualitas tinggi, dan bersikap apolitis. Sehingga muncul kesenjangan persepsi yang sangat lebar antara musisi dan kalangan akademisi pada saat itu. Sehingga beberapa gerakan mahasiswa pada saat itu tidak melibatkan musisi secara aktif. Karena apabila kesadaran untuk melakukan perubahan secara bersama-sama itu dimunculkan pada saat era tersebut sepertinya reformasi tidak perlu menunggu hingga tahun 1998.

Ada semacam kegagapan dalam menyikapi realitas perubahan. Di satu sisi kebebasan untuk menyerap segala informasi dari luar mulai terbuka di sisi yang lain proses pemasungan terhadap kebebasan berekspresi kembali terjadi, bahkan lebih mengerikan dibandingkan era Soekarno. Dan itu secara umum kondisi tersebut diterima begitu saja oleh kalangan musisi pada saat itu. Istilah ‘underground’ pada saat itu mengalami pergeseran makna. Hanya diartikan sebagai musik ‘brang-breng-brong’, aksi panggung teatrikal dan kontroversial serta komposisi musik yang rumit dipenuh skill-skill tingkat tinggi. Nilai-nilai perlawanan yang diusung hanya sebatas pada pemberontakan terhadap nilai feodalistik yang sudah mapan namun tidak secara kritis mencari alternatif baru dalam menciptakan nilai pembanding dan nilai tandingan. Baik itu media komunikasi independen maupun sistem ekonomi tandingan yang dikembangkan.

Sehingga yang terjadi adalah gerakan budaya tandingan yang coba disusun pada akhirnya ikut larut dalam dinamika budaya mainstream di mana segala sesuatunya hanya berorientasi pada permintaan pasar [market oriented]. Masa ini berlangsung hingga dekade tahun 80-an.

‘Underground’ di Ujungberung

Ketika pada tahun akhir 80-an arus globalisasi ikut melanda Indonesia. Investasi asing mulai masuk seiring dengan masuknya IMF ke Indonesia. Dan hal tersebut mulai berdampak bagi perkembangan musik ‘underground’ di Indonesia, khususnya di kota Bandung. Arus informasi yang kuat telah mendorong beberapa majalah dan rilisan kaset ‘underground’ dari luar negeri mulai masuk dan banyak dikonsumsi oleh musisi di Bandung. Di Ujungberung sendiri terjadi sebuah fenomena ’shock culture’ yang hebat. Ketika lahan-lahan agraris yang produktif disulap oleh para investor asing menjadi lahan industri yang sarat polutan. Kultur bertani dan bercocok tanam yang kental dengan nuansa komunal tiba-tiba secara drastis dirubah menjadi kultur buruh/pekerja yang secara sistematis diarahkan menjadi mahluk asosial. Hal ini jelas berdampak pada perilaku masyarakat secara umum. Muncul konflik-konflik kepentingan lokal dalam menyikapi masalah tersebut. Pemuda sebagai bagian dari sebuah struktur masyarakat menyikapi masalah tersebut dengan mencari saluran-saluran ekspresi yang dinilai bisa mewakili gejolak perasaan mereka. Maka musik metal dijadikan media berekspresi yang dinilai sesuai dengan kondisi keresahan mereka. Musik yang cepat, agresif serta lirik-lirik protes yang sarkastik menjadi pelarian mereka.

Radikalisme Ideologi DIY Ujungberung

Tahun 1989 ada empat band pelopor di Ujungberung yang sudah memainkan komposisi lagu metal ekstrim semacam Napalm Death, Sepultura, Obituary, Carcass dan lain-lain. Mereka adalah Funeral, Necromancy, dan Orthodox. Mereka adalah angkatan pertama di Ujungberung yang mulai menanamkan radikalisme dalam mengekspresikan karya mereka. Ketika trend festival musik pada saat itu masih berkutat di hard rock dan slow rock, mereka dengan berani mengacak-ngacak panggung festival itu dengan komposisi thrash metal dan death metal. Tampilan fashion yang ofensif dan style musik yang bising mereka bergerilya dari satu panggung festival ke festival yang lain mengusung semangat ‘kumaha aing’. Keikutsertaan mereka dalam festival tersebut lebih mengarah kepada pembuktian eksistensi dan pernyataan sikap. Mereka mulai memproduksi lagu-lagu sendiri dengan mengangkat isu-isu sosial yang sedang populis pada saat itu.

Dengan kritis mereka mereka menyikapi kultur festival musik sebagai bentuk dari pemasungan kreativitas. Parameter penilaian yang justru pada akhirnya malah mengkerdilkan makna kejujuran dalam berekspresi. Semangat menurut pasar hanya menciptakan bentuk keseragaman dalam karya dan pada akhirnya melahirkan kebosanan. Media-media mainstream pada saat itu hanya menampilkan informasi musik yang itu-itu saja. Pada tahun 1993 mulailah terbentuk beberapa komunitas musik ekstrim di Bandung. Mereka rajin membuka ruang-ruang diskusi menyikapi realitas yang sedang terjadi terutama di tingkat lokal. Mengorganisir diri ke dalam bentuk komunitas yang mempunyai kecintaan dan minat yang sama. Saling bertukar informasi dan membuat workshop media dan eksplorasi teknologi alat musik. Penyikapan konkret mereka buktikan dengan cara membuat media-media informasi tandingan yang isinya lebih kepada pengenalan kultur ini kepada khalayak. Dari situlah maka mereka mulai merambah acara-acara festival musik di kota Bandung. Dari mulai event ‘agustusan’ hingga pensi-pensi SMA. Pada masa itu sikap diskriminatif terhadap band ‘underground’ kerap terjadi. Dari mulai aksi teror secara verbal hingga yang sifatnya fisik. Tidak jarang mereka harus menerima hinaan ataupun cibiran dari beberapa orang yang tidak suka atau bahkan yang tidak mengerti sama sekali tentang aliran musik ekstrim. Band-band yang beraliran punk, hardcore, grindcore dan black metal kerap mendapatkan perlakukan diskriminatif dari pihak penyelenggara. Dari mulai jatah waktu tampil yang dikorupsi, perlakuan pihak sound system yang dengan sengaja mengacaukan setting sound, hingga terror fisik dari preman lokal yang merasa tersaingi.

Sikap tersebut terbentuk karena tatanan sosial pada saat itu pada umumnya masih dihinggapi perasaan xenophobia atau selalu merasa khawatir terhadap nilai dan tatanan baru yang muncul. Mereka selalu merasa bahwa hal baru sama dengan ancaman baru. Pada saat itu parameter berekspresi adalah sesuatu yang dapat menembus batasan yang sudah ditetapkan oleh pihak industri musik mainstream. Paradigma musik yang bagus adalah musik yang berorientasi pada kebutuhan pasar yang dapat masuk rating televisi dan menguasai jajaran top-ten radio. Belum terbentuk mental penerimaan yang baik terhadap hal baru yang dapat menambah khazanah keberagaman, utamanya di bidang musik.

Kondisi nyata seperti itulah yang menjadi latar belakang komunitas Ujungberung bercita-cita menggelar acara musik yang konsepnya menampilkan semua jenis musik underground dalam satu panggung. Terinspirasi oleh pagelaran Hullabaloo #1 pada tahun 1994 yang sukses digelar di Gor Saparua yang menampilkan musik underground dengan berbagai macam aliran. Dari mulai hip-hop, grindcore, pop, punk, hingga musik industrial. Komunitas Ujungberung mengadopsi konsep tersebut namun format musik yang disuguhkan lebih kepada sajian musik dengan distorsi tingkat tinggi. Lahirlah acara Bandung Berisik #1 pada tahun 1995 yang melahirkan acara-acara metal legendaris khas ala Ujungberung seperti Bandung Death Fest, Rebellion Fest, dan Rottrevore Death Fest yang rutin digelar secara berkala menampilkan band beraliran metal ekstrim.

Counter Culture

Era 1996 hingga 1997 komunitas musik ‘underground’ di Bandung mengalami masa perkembangan yang pesat. Konsep kolektivisme dan DIY mulai banyak direalisasikan dalam berbagai bentuk kegiatan kongkret. Dari mulai membuat perusahaan rekaman berbasiskan indie label lengkap dengan konsep distribusi dan promosinya, pembuatan merchandise band, pembuatan media informasi komunitas berupa fanzine fotokopian, hingga kepada penggarapan event yang mengandalkan semangat kolektivisme. Jenis karya musik yang dihasilkan makin beragam dan cenderung makin agresif. Lirik yang diproduksi mulai banyak menyentuh hal-hal yang sifatnya politis. Banyak lirik pada saat itu yang bercerita tentang nasib buruh, petani, dan kaum miskin kota. Dengan frontal mulai melakukan kritik-kritik terhadap pemerintah yang dinilai gagal mengatasi krisis. Industri musik mainstream pada saat itu sedang dilanda kejenuhan pasar. Paska booming Slank dan Iwan Fals pada saat itu tidak ada lagi fenomena musik yang luar biasa.

Media-media mainstream mulai kehabisan bahan berita hingga akhirnya komunitas ‘underground’ dengan segala bentuk dinamika pergerakannya menjadi bahan eksploitasi berita. Hampir semua media terutama media cetak mainstream yang ber-target marketing anak muda membahas fenomena pergerakan musik ‘underground’ terutama yang terjadi di kota Bandung. Hal tersebut jelas berdampak sangat besar pada perkembangan musik ‘underground’ pada saat itu yang seolah-olah di-setting menjadi trend musik masa kini. Melalui peran media mainstream pula hingga akhirnya booming musik ‘underground’ ini mewabah hampir di semua kota besar di Indonesia, utamanya di pulau Jawa.

Lahirlah beberapa komunitas musik ‘underground’ di kota Jakarta, Bali, Surabaya, Malang, Yogya dan Medan. Beberapa pagelaran bertema serupa ramai digelar di kota-kota tersebut dalam skala kecil. Di kota Bandung yang notabene adalah barometer musik ‘underground’ pada saat itu hampir setiap minggu Gor Saparua menjadi langganan acara-acara musik ‘underground’ yang diorganisir oleh beberapa komunitas di kota Bandung. Gor Saparua selalu dipenuhi oleh massa ‘underground’ yang rata-rata berusia belia dari berbagai kota di Indonesia. Ada yang dari Medan, Jakarta, Surabaya, Yogya, Malang dan kota-kota lainnya. Terjadilah transformasi informasi dan proses penyerapan kultur. Dari sinilah awal terbentuknya jaringan komunikasi lintas komunitas dalam rangka memperluas jaringan. Beberapa komunitas dari luar kota Bandung dijadikan basis distribusi bagi penyebaran produk dan informasi yang berkaitan dengan aktivitas sub kultur. Bahkan sekarang sudah terbentuk jaringan event yang diorganisir secara kolektif yang rutin menjalin kerjasama penyelenggaraan event ‘underground’.

Pada masa itu lahirlah acara-acara musik seperti Bandung Underground yang di organisir oleh komunitas Muda-Mudi Margahayu, Gorong-Gorong Bandung diorganisir oleh komunitas punk P.I., Bandung Minoritas, Campur Aduk dan lain-lain. Namun pada masa itu pula situasi politik dan ekonomi Indonesia mengalami guncangan. Masa peralihan kekuasaan yang diwarnai kisruh pertarungan politik di tingkat elit kekuasaan berdampak besar pada perekonomian. Tragedi krisis moneter yang mengguncang hebat perlahan ikut membawa dampak pada perkembangan musik Underground, khususnya di kota Bandung. Demonstrasi besar-besaran kerap mewarnai jalanan kota Bandung. Daya beli masyarakat secara keseluruhan mulai menurun dikarenakan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Hingga pola konsumsi masyarakat pada saat itu berubah dengan cara mengurangi hal-hal yang dirasa tidak terlalu penting. Acara yang biasanya ramai dipenuhi oleh penonton lambat laun mulai sepi pengunjung. Beberapa organiser yang berasal dari beberapa komunitas independen di Bandung mulai menarik diri untuk membuat event musik ‘underground’. Di samping tidak mau mengalami kerugian secara finansial [walaupun pada saat itu dan sampai sekarang tidak pernah mencari keuntungan], juga disebabkan kendala perijinan yang semakin represif terhadap hal-hal yang sifatnya mengumpulkan massa dalam jumlah banyak. Beberapa yang memaksakan diri mengalami kerugian yang cukup besar dikarenakan sepi penonton atau dengan alasan meresahkan dan mengganggu ketertiban secara sepihak dibubarkan oleh aparat keamanan. Beberapa pelaku subkultur ‘underground’ pada masa itu ikut melebur bersama beberapa organ buruh dan mahasiswa aktif menggelar aksi-aksi demonstrasi menuntut perubahan di segala bidang.

Pada saat sulit tersebut justru komunitas Ujungberung banyak mengalami kemajuan yang signifikan. Banyak band-band baru terbentuk dengan semangat dan idealisme yang tinggi. Beberapa band seperti Jasad, Sacrilegious, Sonic Torment, Burgerkill dan Forgotten bahkan telah mampu memproduksi dan mendistribusikan album perdana mereka secara independen. Pada masa itu komunitas Ujungberung mulai membangun basis ekonomi komunitas sebagai bagian dari pemberdayaan ekonomi komunitas dengan cara membangun distro Rebellion yang khusus menjual produk-produk band Ujungberung dan komunitas musik lain di Bandung. Semua murni dilakukan atas dasar dorongan insting untuk bertahan hidup.

Ekonomi Kreatif

Dinamika pergerakan komunitas ‘underground’ sebagai bagian dari sebuah sub kultur di Bandung khususnya di Ujungberung ternyata membawa dampak pada sikap kemandirian ekonomi. Semangat kemandirian atau independensi yang mereka usung telah mampu menjadi trigger atau pemicu bagi eksplorasi kreativitas. Tidak hanya di sektor karya musik saja namun telah meluas pada sektor ekonomi. Spirit pemberontakan yang mereka usung telah mampu menyelesaikan beberapa persoalan sosial yang ada khususnya dalam hal penyediaan lapangan kerja. Di komunitas Ujungberung sendiri sejak tahun 2004 hingga sekarang telah terbangun beberapa unit bisnis yang berbasiskan komunitas. Dari mulai usaha sablon, distro, konveksi pakaian, studio rekaman, perusahaan rekaman indiependen, jasa distribusi, studio rekaman, usaha penerbitan, toko buku dan usaha warnet. Semuanya murni dikelola oleh para pelaku komunitas ‘underground’ Ujungberung dan melibatkan tenaga kerja dari lingkungan yang sama. Beberapa pelaku komunitas ini terlibat aktif sebagai kru band dan teknisi studio rekording di kota Bandung. Semuanya saling bersinergi dan menciptakan perbaikan ekonomi minimal bagi para individu dan internal komunitas.

Semua bentuk kreatifitas yang diusung oleh para pelaku industri kreatif dalam hal ini adalah pelaku sub kultur telah mampu memberikan ‘wajah’ pada kota Bandung. Beberapa gelaran event musik yang digelar di Bandung selalu dijadikan tolak ukur dan parameter perkembangan musik bagi kota lain. Bentuk dan perkembangan fesyen dikota Bandung selalu menjadi trendsetter bagi perkembangan industri fesyen di Indonesia.

Pada tahun 2008 hingga 2013, kota Bandung oleh British Council dijadikan proyek percontohan sebagai ‘creative city’ di kawasan asia pasifik. Sebuah kota yang memang secara budaya berhasil dibangun citranya oleh komunitas kreatif berbasiskan indiependen. Proses pencapaian tersebut dilakukan atas dasar insting untuk bertahan hidup dalam mensikapi situasi. Jiwa yang kritis dan semangat ‘pemberontakan’ memanfaatkan potensi yang seadanya namun didukung oleh semangat kolektivisme yang tinggi hingga berhasil mengatasi semua hambatan yang ada – meski tanpa daya dukung yang kuat dari pemerintah berupa kebijakan dan fasilitas yang layak untuk mengekspresikan energi kreatif mereka. Mau didukung atau tidak mereka tidak peduli, karena secara sistem mereka telah teruji kemandiriannya.

Tapi kata kunci dari segalanya adalah keteguhan prinsip. Panceg Dina Jalur, tidak gamang menghadapi perubahan. Membaca segala bentuk perubahan sebagai kulit saja bukan sebuah inti. Sehingga ketika harus menyesuaikan diri dengan perubahan tak lantas kehilangan diri tenggelam dalam euphoria di permukaan. Segala pencapaian itu juga harus dikelola dengan sinergi yang positif antara lahan-lahan garapan kreatifitas, sehingga akan terus berkembang dan pada gilirannya memberikan hal positif bagi masyarakat luas.